Asal-Usul Nama Slawi: Sayembara, Kesatria, Dan Jejak Legenda

TEGAL — Nama Slawi bukan sekadar penanda geografis di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Di balik nama itu tersimpan kisah panjang yang bersumber dari tradisi lisan masyarakat, tertuang dalam babad dan cerita rakyat. Menariknya, terdapat dua versi utama mengenai asal-usul nama tersebut.

Di antara riuhnya kisah rakyat dan bisikan babad, terhampar dua versi cerita tentang asal-usul Slawi Ayu. Keduanya berawal dari satu hal yang sama yakni sayembara. Dari sanalah, sejarah (atau legenda) Slawi mulai mengalir deras, kadang samar, tapi selalu memikat.

Mari kita menelusuri jejak cerita yang membentuk identitas Slawi. Karena mengenal asal-usul bukan hanya soal tahu masa lalu, tapi tentang memahami akar yang menumbuhkan jati diri hari ini.

Meski demikian, kedua cerita ini tidak selalu mudah dipahami. Sebagian kalangan bahkan menyebut babad ini membingungkan. Antara fakta sejarah dan imajinasi rakyat, batasnya kerap kabur.

Versi 1: Adipati Martoloyo dan Eksekusi Ki Ageng Petir

Kisah pertama dikutip dari buku antologi cerita rakyat Tegal berjudul Malem Pertama Nang Berlin (2021). Cerita ini berpusat di wilayah Desa Rajegwesi, Kecamatan Pagerbarang, Kabupaten Tegal.

Saat itu wilayah Rajegwesi berada dalam situasi yang tidak stabil. Kekacauan dipicu oleh tokoh bernama Ki Ageng Petir, salah satu kasepuhan yang dianggap berbahaya dan meresahkan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini, Adipati Martoloyo, tokoh utama dalam versi ini, memutuskan untuk mengadakan sayembara terbuka.

Sayembara tersebut berbunyi:

“Barang siapa dapat menangkap Ki Ageng Petir hidup atau mati, akan memperoleh hadiah. Jika pemenangnya laki-laki, akan dinikahkan dengan putri sang Adipati, Dyah Ayu Nimas Ronggéh. Jika perempuan, akan dijadikan anak angkat.”

Sebanyak 25 ksatria mendaftarkan diri mengikuti sayembara. Namun hanya satu yang berhasil menyelesaikan misi: Raden Tlampar Ranggono, seorang kesatria muda dari Palembang yang merupakan putra dari Prabu Sriwijaya. Ia berhasil menaklukkan dan menewaskan Ki Ageng Petir berkat ilmu kesaktian yang dimilikinya.

Sebagai hadiah, Ranggono menikahi Dyah Ayu Nimas Ronggéh. Dari peristiwa inilah muncul istilah “Selawé”, yang dalam bahasa Tegal berarti “dua puluh lima” (mengacu pada jumlah peserta sayembara). Istilah ini kemudian diyakini mengalami pergeseran fonetik menjadi Slawi, nama yang kita kenal sekarang.

Versi 2: Ki Gede Sebayu dan Pohon Jati Raksasa

Versi kedua dari cerita asal-usul Slawi masih bersumber dari buku yang sama, namun menampilkan tokoh sentral yang berbeda: Ki Gede Sebayu, sosok historis yang dikenal sebagai pendiri Tegal dan tokoh penyebar ajaran Islam di wilayah ini.

Dalam cerita lokasi pindah ke Desa Jatimulya, Kecamatan Lebaksiu. Sayembara tetap menjadi pangkal cerita, tetapi kali ini bukan untuk memberantas kejahatan, melainkan untuk mencari calon pendamping bagi putri Ki Gede Sebayu, Raden Ayu Gianti Subalaksana.

Objek sayembara ialah sebuah pohon jati raksasa yang konon tidak bisa dirobohkan oleh siapa pun. Sebayu mengumumkan bahwa siapa saja yang mampu menumbangkan pohon itu, berhak mempersunting putrinya.

Sebanyak 25 satria kembali ambil bagian. Namun seperti versi sebelumnya, hanya satu yang berhasil menyelesaikan tantangan. Ia adalah Raden Purbaya, sosok yang digambarkan kuat, bijaksana, dan memiliki kekuatan spiritual tinggi. Setelah sukses merobohkan jati tua tersebut, ia dinikahkan dengan Raden Ayu Gayanti dan kemudian dikenal sebagai salah satu pemimpin lokal yang disegani.

Dari cerita ini pula, angka "dua puluh lima" atau "selawé" kembali mencuat, yang dipercaya menjadi akar dari nama Slawi.

Kemudian hingga muncul istilah Slawi Ayu, yang konon katanya berarti 25 ksatria memperebutkan seorang wanita cantik bernama Raden Ayu Giyanti.

Sejarah atau Legenda?

Kedua versi tersebut hingga kini hidup berdampingan dalam narasi rakyat. Tidak ada sumber sejarah tertulis yang benar-benar bisa memastikan mana yang lebih akurat. Sebagian sejarawan memandang cerita-cerita ini sebagai bentuk folklore yang memuat nilai moral dan simbolik, bukan data sejarah faktual.

Meski demikian, kisah tentang sayembara, angka dua puluh lima, serta tokoh-tokoh seperti Adipati Martoloyo dan Ki Gede Sebayu telah menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat Tegal, khususnya di wilayah Slawi.

Dan pada akhirnya, seperti disampaikan dalam buku tersebut, jika ada pertanyaan tentang mana yang benar jujur saja penulis tidak tau. Silahkan pembaca meyakini mana yang benar, karena bisa saja itu hanya legenda.

(slawiayu/fat)

FBS Indonesia

Desa : Slawi Kulon, Kecamatan : Slawi, Kab. Tegal #Slawi #KiGedeSebayu