Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Sekolah Karena Buka Jilbab Di Lomba Renang, KPAI: Ini Pelanggaran Hak Anak

Slawi - Dunia pendidikan nasional kembali dihadapkan pada sebuah polemik yang menyentuh isu peraturan sekolah, hak anak dan prestasi olahraga. Seorang siswi kelas XI Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Tegal terancam kehilangan hak pendidikannya setelah pihak sekolah memintanya untuk pindah ke sekolah lain. Keputusan ini merupakan buntut dari partisipasinya dalam Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) Kabupaten Tegal pada September 2024 lalu, di mana ia tidak mengenakan baju renang yang dilengkapi jilbab saat berlaga di kolam renang.

Kasus ini mengemuka setelah orang tua siswi menyuarakan keberatannya atas perlakuan yang diterima putrinya, yang dianggap tidak hanya merugikan secara akademis tetapi juga menyerang mental sang anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah merespons dengan tegas, menyatakan bahwa penghentian pendidikan seorang anak dengan alasan tersebut merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak-hak fundamental anak.

Cuitan Orang Tua Siswi MAN 1 Tegal

Kronologi Kasus MAN 1 Tegal

Permasalahan ini berawal dari sebuah ajang kompetisi olahraga pelajar yang seharusnya menjadi panggung prestasi. Menurut penuturan orang tua siswi, putrinya yang merupakan seorang atlet renang dalam perlombaan dalam Popda Kabupaten Tegal pada September 2024. Sejak awal telah ada arahan dari guru pendamping bernama Hj. Nok Aenul L, yang juga menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah (Waka) bidang Kesiswaan, agar sang siswi mengenakan pakaian renang yang lebih tertutup sesuai kaidah yang dianut sekolah.

"Ada arahan dari guru pendamping untuk memakai baju renang yang lebih tertutup. Anak saya saat berenang memang melepas jilbabnya namun begitu naik dari kolam, dia langsung pakai kerudung dan pakaian tertutup lainnya," ungkap orang tua siswi.

Ia menjelaskan bahwa selama proses perlombaan, guru pendamping tersebut turut menyaksikan langsung di lokasi. Namun situasi berubah drastis ketika sang guru melihat siswinya berlomba tanpa penutup kepala.

“Wakil kepala sekolahnya syok saat itu, merasa seakan dibohongi karena sebelumnya siswa tersebut mengatakan akan memakai baju tertutup, ternyata tidak. Akhirnya saat tinggal dua nomor perlombaan lagi, guru pendampingnya sudah terlihat emosi,” lanjutnya.

Melihat situasi yang memanas, orang tua siswi berinisiatif melakukan mediasi. Dibantu oleh seorang pendamping dari Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Tegal yang juga berada di lokasi, ia menemui guru tersebut untuk menyampaikan permohonan maaf dan memohon agar putrinya diizinkan menyelesaikan dua nomor perlombaan yang tersisa.

"Kami datangi gurunya, saya secara pribadi meminta maaf karena sebagai orang tuanya, sayalah yang mengizinkan putri saya memakai baju renang tersebut. Saya mengakui itu murni kesalahan saya," jelasnya.

Namun upaya permintaan maaf itu mendapatkan respons yang tegas dan bernada personal dari sang guru. “Ibu, yang bertanggung jawab soal akhirat itu saya, orang tuanya. Mohon maaf, barangkali untuk bisa melanjutkan lombanya, anak saya bisa memakai baju panjang,” ujar orang tua siswi menirukan percakapannya.

Respons guru tersebut sangat mengejutkan. "Ini pertanggungjawabannya sampai akhirat," kata sang guru saat ditirukan oleh orang tua siswi tersebut. Bahkan ketika ditawarkan solusi agar sisa lomba diikuti dengan pakaian lebih tertutup, guru tersebut menimpali, “Enggak usah, kemenangan ini enggak berarti apa-apa buat saya, apalagi buat sekolah.”

Akibatnya, dua nomor perlombaan terakhir terpaksa tidak diikuti karena pihak sekolah disebut sudah tidak lagi memberikan dukungan. Mental sang anak pun terguncang hebat.

Dampak Psikologis

Insiden di arena Popda ternyata berbuntut panjang hingga ke lingkungan sekolah. Orang tua siswi menceritakan bagaimana putrinya mengalami tekanan psikologis berat setelah kejadian tersebut.

"Anak saya sudah menangis-nangis karena terus ditelepon oleh guru olahraganya. Saya bilang ke anak saya, tidak usah diangkat kalau kamu hanya akan dimaki-maki. Nanti Bunda yang akan ke sekolah kalau memang ada panggilan resmi,” tambahnya.

Keesokan harinya orang tua dipanggil secara resmi oleh pihak sekolah. Dalam pertemuan itu, ia kembali menyampaikan permintaan maaf atas nama pribadi dan putrinya. "Saya datang mengakui kesalahan, saya minta maaf. Kalau sikap saya dan anak saya membuat pihak sekolah sakit hati, saya mohon maaf sebesar-besarnya," tuturnya.

Akan tetapi, permintaan maaf tersebut seolah tidak diterima dengan baik. Ketika ia mencoba meminta penjelasan mengenai detail kesalahan putrinya menurut peraturan sekolah, pihak sekolah justru mengalihkan pembicaraan ke ranah personal dengan mempertanyakan akhlak sang anak. "Anak ini akhlaknya begini, begitu" ungkapnya, menirukan ucapan yang ia dengar.

Puncak perlakuan yang dirasa diskriminatif terjadi saat acara penyerahan medali kemenangan Popda di sekolah. Seluruh siswa pemenang dipanggil satu per satu ke depan untuk menerima penghargaan, kecuali putrinya. Medali yang ia raih tidak diserahkan dalam kegiatan tersebut.

“Anak saya benar-benar kena mental. Setelah acara itu, dia kembali ke kelas hanya bisa tidur. Sampai akhirnya guru olahraga memanggilnya secara personal untuk memberikan medali, namun anak saya menolak karena dia berpikir medali itu sudah tidak ada artinya lagi buat sekolah” ujarnya dengan nada sedih.

Keputusan Sekolah

Setelah berbulan-bulan dalam ketidakpastian, pada tanggal 17 Juni 2025, orang tua siswi kembali menerima panggilan dari wali kelas. Dalam pertemuan inilah keputusan akhir dari pihak sekolah disampaikan secara lisan.

“Saya dipanggil wali kelas. Saat itu pihak sekolah meminta agar putri saya mencari sekolah lain. Surat pemindahan resmi katanya akan menyusul setelah ditandatangani oleh Kepala Madrasah yang saat ini masih menjalankan ibadah haji di Tanah Suci,” terangnya.

Terkejut dengan keputusan tersebut, ia langsung mempertanyakan alasannya. “Saya bilang, kenapa? Ada apa? Anak saya jadi dikeluarkan?” tanyanya. Wali kelas menjawab, “Iya Bu, ngapunten (mohon maaf), sepertinya bisa cari sekolah yang lain.”

Ketika didesak lebih lanjut mengenai alasan spesifik di luar insiden baju renang, jawaban yang diterima justru semakin menguatkan dugaannya bahwa masalah ini telah menjadi persoalan personal. “Saya tanya, memang selain masalah itu, ada masalah apalagi? Gurunya menjawab, ‘Iya, Bunda, masih kelara-lara (masih sakit hati)’. Ini kan berarti serangannya personal, bukan lagi murni karena pelanggaran peraturan sekolah” kata orang tua siswi dengan tegas.

Ia menegaskan bahwa dirinya tidak menentang aturan sekolah, namun ia tidak bisa menerima jika anaknya dijatuhkan secara mental dan diperlakukan tidak adil karena sentimen pribadi.

"Saya hanya ingin keadilan untuk putri saya. Saya tidak terima pihak sekolah menyerangnya secara personal, menjatuhkan mentalnya. Kalau memang harus keluar karena aturan yang jelas dan ditegakkan secara adil, monggo. Tapi ini rasanya tidak seperti itu," ucapnya.

Kini, ia berharap ada intervensi dari berbagai pihak yang berwenang untuk menengahi masalah ini secara adil. "Saya ingin kasus ini ditanggapi secara adil, baik dari Kementerian Agama, KPAI, atau lembaga apa pun yang menaungi pendidikan," pintanya.

Tanggapan KPAI

Kasus yang menimpa siswi MAN 1 Tegal ini mendapat perhatian serius dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, menyoroti ancaman pengeluaran siswi dari sekolah tersebut sebagai sebuah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

“Saya kira itu tidak diperkenankan ya, memutus hak pendidikan anak,” ujar Aris saat dimintai keterangan. Menurutnya, tindakan mengeluarkan siswa dari sekolah merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap hak anak untuk mendapatkan pendidikan, yang telah dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.

Aris menyampaikan, sekalipun seorang siswa terbukti melakukan pelanggaran terhadap tata tertib atau peraturan sekolah, penanganannya harus tetap mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan dan hak anak. Sanksi yang diberikan harus terukur dan proporsional.

“Kalau memang terbukti melanggar, ya tentu konsekuensinya harus tetap menghormati hak anak. Sekolah juga mestinya mengukur tingkat pelanggarannya seperti apa. Kemudian yang terpenting, apakah peraturan itu sudah dibuat berdasarkan perspektif hak-hak anak atau tidak?” tegas Aris.

Lebih lanjut, Aris mempertanyakan proses penyusunan dan sosialisasi peraturan di MAN 1 Tegal, khususnya yang berkaitan dengan seragam atau pakaian kegiatan siswa. Ia menekankan pentingnya memastikan bahwa setiap aturan yang diterapkan di lingkungan pendidikan tidak justru mencederai hak dan martabat anak.

Aris menegaskan bahwa pemutusan hak pendidikan anak merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Oleh karena itu, ia mendorong semua pihak yang terlibat untuk mencari solusi terbaik melalui jalan musyawarah.

“Maka langkah yang paling bijak ialah bagaimana menyelesaikan persoalan ini dengan cara musyawarah untuk kemudian mengembalikan hak pendidikan anak itu sendiri. Kasus ini juga harus menjadi bahan evaluasi dan refleksi mendalam terhadap aturan yang ada di sekolah,” ucapnya.

Saat ini, KPAI telah bergerak aktif dan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) RI untuk mendalami kasus ini. “Kami sudah berkoordinasi dengan Kemenag untuk menangani. Sedang didalami bersama bagaimana situasi dan duduk perkara kasusnya,” pungkas Aris. Publik kini menantikan hasil investigasi bersama tersebut, berharap adanya solusi yang adil dan berpihak pada pemenuhan hak anak.

(slawiayu/fat)

FBS Indonesia

Desa : Jatimulya, Kecamatan : Lebaksiu, Kab. Tegal #MAN1Tegal